Jakarta - Presisiku.com Kamis (14/11/2024) – Mahkamah Konstitusi (MK) menetapkan bahwa pemilihan kepala daerah (pilkada) ulang, khususnya dalam kasus calon tunggal yang kalah dari kotak kosong, harus dilaksanakan paling lambat satu tahun setelah putusan dikeluarkan. Keputusan ini disampaikan oleh Ketua MK Suhartoyo dalam amar Putusan Nomor 126/PUU-XXII/2024 di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta.

“Mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian,” ujar Suhartoyo saat membacakan putusan tersebut. Keputusan ini memberikan tafsir baru terhadap ketentuan Pasal 54D ayat (3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (UU Pilkada), khususnya mengenai frasa "pemilihan berikutnya" dan "tahun berikutnya."

MK menegaskan, frasa “pemilihan berikutnya” kini diartikan sebagai pilkada ulang yang harus dilaksanakan dalam jangka waktu maksimal satu tahun sejak tanggal pemungutan suara pertama. Hakim Konstitusi Saldi Isra menyatakan bahwa langkah ini bertujuan untuk menjaga prinsip keserentakan pilkada dan mencegah masa jabatan pejabat sementara kepala daerah berlangsung terlalu lama. “Hal ini untuk memastikan bahwa kepala daerah dan wakil kepala daerah yang terpilih dari hasil pemilihan ulang tidak banyak kehilangan hak untuk menjabat dalam periode masa jabatan yang penuh,” jelas Saldi.


MK juga menekankan bahwa masa jabatan kepala daerah yang terpilih dari pilkada ulang akan tetap berakhir pada pilkada serentak berikutnya. Namun, masa jabatan tersebut tidak diperkenankan melebihi lima tahun penuh, dengan konsekuensi logis adanya “pemilihan berikutnya” yang dilakukan di luar jadwal serentak normal.

MK menggarisbawahi pentingnya memberikan kompensasi bagi kepala daerah yang masa jabatannya dipersingkat karena pilkada ulang. Dalam putusannya, MK mengacu pada Pasal 202 UU Nomor 8 Tahun 2015, yang memungkinkan pemberian uang kompensasi sebesar gaji pokok dikalikan dengan jumlah bulan sisa masa jabatan, serta hak pensiun untuk satu periode penuh. Hakim Saldi juga menyarankan bahwa bentuk kompensasi lain dapat dirumuskan untuk melindungi hak kepala daerah dalam kondisi tersebut.

Permohonan uji materi terhadap Pasal 54D ini diajukan oleh Wanda Cahya Irani, seorang mahasiswa, dan Nicholas Wijaya, seorang karyawan swasta, yang mempertanyakan ketidakjelasan frasa “pemilihan berikutnya.” Para pemohon menilai bahwa frasa tersebut tidak memberikan kepastian hukum yang memadai. Dalam putusan ini, MK memberikan tafsir baru untuk memastikan prinsip demokrasi serta kepastian hukum dalam proses pemilihan kepala daerah.

Keputusan MK ini diharapkan dapat memberikan landasan hukum yang jelas bagi pelaksanaan pilkada ulang dan menjaga integritas proses demokrasi di Indonesia.*/Syafar